Oleh : Donny Irawan (WG. 001-01Wana Gama)
Perladangan berpindah oleh penghuni tepi hutan sering menimbulkan kebakaran. Apa tidak ada jalan untuk mencegahnya? mestinya sudah banyak! Suatu cara baru lagi kini menambah deretan cara/cara yang sudah ada, yaitu dengan berkebun tetap didalam hutan seperti orang Maya, yang dianjurkan oleh Terry Erwin di Peru. Masih jadi dilema di negeri ini soal pembakaran hutan, hingga muncul julukan baru negara pengekspor asap.
Memang asap yang ditimbulkan dari pembakaran hutan di Indonesia, baik di Kalimantan, Sumatra dan hutan hutan diprovinsi yang lain banyak menimbulkan masalah, dari asap yang mengganggu kesehatan, penerbangan, aktivitas bekerja dan sekolah terganggu hingga kerugian dan kerusakan yang parah seperti hilangnya habitat ekosistem asli, tapi jangan buru-buru menyalahkan masyarakat/peladang berpindah saja, kebakaran hutan juga ditimbulkan oleh keisengan dari puntung rokok, api unggun yang lupa dimatikan, sampai tingkat kemarau yang memicu panas dari matahari ke daun-daun yang kering juga menimbulkan kebakaran.
Kembali kesoal pembakaran yang diduga dilakukan peladang berpindah yang sudah sangat biasa membakar alang-alang, semak belukar setiap selesai menyiapkan lahan dipinggir hutan untuk mulai berladang, kebiasaan buruk ini ternyata bukan barang baru dan bukan monopoli orang Indonesia saja, di Peru, Amerika Selatan juga ada pengerusakan hutan yang sudah biasa. Disana juga ada penebangan kayu oleh sejumlah perusahaan yang diberi HPH oleh pihak yang berwenang. Sebenarnya yang mereka babat hutan aslinya untuk ditanamani pohon produksi, hal ini jelas sangat merugikan.
Bila dicermati banyak sekali varietas asli baik flora maupun fauna yang akan hilang habitatnya hingga punah. Namun yang tidak diduga-duga, suku Indian dihutan yang kemudian terdesak ketempat lain yang masih belum gundul, padahal mereka juga butuh kayu, sampai mereka / apa boleh buat terpaksa menebang kayu dari hutan asli/hutan lindung yang belum gundul, meskinya hutan ini tidak boleh gundul/dirusak. Kalau disalahkan mereka balik menuding perusahaan perusahaan yang memegang HPH ''Lha hutan kami ditebangi noh....jadi kami kegunung/hutan yang lain”. Disanalah orang-orang maya menebang hutan, membabat semak belukar dan membakarnya sekalian supaya bersih, sehingga lahan bisa ditanami kentang, jagung. Biasanya tidak ada jago merah yang menghampiri bila cara pembakaran menuruti aturan main menurut suku indian tersebut, persis seperti yang dilakukan oleh suku dayak yang ada dikalimantan.
Bencana baru muncul, kalau peladang pembakar tidak menyiapkan larikan tanah kosong terlebih dahulu sebagai daerah penyangga. Biasanya yang berbuat ini adalah peladang/orang pendatang yang tidak tau tentang aturan main membakar semak, namun meskipun tidak ada kebakaran, setiap ada sebidang tanah/hutan yang dibabat habis, maka musnahlah semua jenis binatang penghuni kapling itu.
Terry erwin yang mendengar malapetaka yang terjadi akibat kebakaran hutan di Peru segera menginventarisir semua jenis tanaman, hewan, juga hal-hal lain didalam hutan tersebut. Selain menginventarisir Terry juga mempunyai cara yang unik dalam memberi pengetahuan kepada orang Indian setempat agar tidak membakar hutan lagi. Ia memberi contoh bagaimana cara mengusahakan lahan yang tetap ditengah hutan tanpa merusak hutan itu sendiri. Bagaimana mungkin....??? Terry yang masuk kedalam hutan melihat dengan jelas bahwa tanah hutan rawa disekitar cagar alam Tambolata kebetulan subur sekali. Itu terlihat pada warnanya yang kehitam-hitaman daripada tanah lain dari daerah lain. Tanah subur ini niscaya bisa diambil dan dipindahkan untuk dipakai sebagai kebun usaha bersama, didekat desa pemukiman orang indian yang terusir dari hutannya ini. Terry kemudian membangun semacam kebun percontohan dengan cara-cara yang dilakukan Suku Maya Meksiko kuno dulu.
Di dekat cagar alam Tambopata, ia mengarahkan para pekerja dari desa di sekitarnya untuk menggali dan menimbun tanah disuatu tempat terbuka dekat cagar alam itu. Kemudian ia minta bantuan para anggota operation raleigh, yang kebetulan berada di Peru untuk mengangkut tanah subur dari rawa-rawa sejauh 2 km, ketempat yang sudah digali, sebagai calon kebun Maya itu. Tanah subur diangkut dalam karung karung goni.
Kebun maya itu berukuran 25 x 25M di tengah hutan berupa gundukan tanah setinggi 1M diatas permukaan tanah semula. Tanah yang sudah ditimbuni lumpur subur dari rawa-rawa ini ditahan oleh batang palem pona yang dibelah. sebuah saluran drainase (pengeringan) selebar 2M mengelilingi kebun tinggi itu. Air yang dalam dimanfaatkan dengan memelihara ikan air tawar, sebagai sumber protein hewani. Penebaran benih ikan disetel sedemikian rupa, sehingga panennya nanti bisa jatuh dimusim paceklik. Endapan lumpur didasar saluran akan dikeduk dan dikembalikan ke kebun lagi secara berkala, untuk meremajakan kesuburan lahan itu kembali. Untuk mencegah hama tikus yang mungkin masuk melalui batang bambu/penyangga pagar, dipasanglah bulatan kantung plastik pencegah tikus, seperti pencegah tikus pada rantai jangkar kapal laut. Untuk mencapai kebun disediakan jembatan angkat dari kayu, jadi ini sudah tentu senantiasa disembunyikan bila mereka sudah keluar dari kebun. Jadi orang lain, maupun hewan perusak tidak dapat mencuri/memakan tanaman dilahan karena tidak ada jalan masuk, juga dikelilingi oleh paret yang besar dan dalam.
Nah bila cara ini bisa diterapkan di Indonesia, boleh tentu kita dapat me-minimalisasi tingkat kerusakan hutan, juga kebakaran hutan yang dilakukan oleh peladang berpindah.
Mari jaga dan lestarikan alam dan isinya,buat generasi masa depan.
Salam Lestari.. !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar